Sabtu, 01 Januari 2011

ISLAM MISTIK : PRAKTEK DAN KEBANGKITAN SULUK DI PESISIR UTARA ACEH
Oleh: Iskandar Ibrahim

A. Pendahuluan
Suluk sebagai salah satu instrumen tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah, di Aceh masih diperdebatkan. Perdebatan tentang keabsahan suluk dalam dunia Islam adalah tema yang sudah amat lama terjadi sejak praktek suluk di perkenalkan ke dalam tarekat oleh Syeikh Khalid Khurdi dari Kurdistan ratusan tahun silam (said, 2003:79). Di satu pihak ada yang sangat menentang, dibuktikan dengan tindakan represif penguasa yang mengeluarkan fatwa mengharamkan praktek suluk pada kurun waktu tertentu, membakar kitab-kitab mereka serta melakukan perburuan terhadap para pengikutnya (Azra, 2004:212), tetapi pada pihak lain ada yang menjadikannya sebagai media penting dalam pembinaan spiritual umat Islam (Muhammad Waly, 1994:9).
Perdebatan itu menghasilkan sedikitnya tiga kubu ulama. Pertama, ulama yang mendukung dan terlibat langsung dalam penyebaran praktek suluk melalui pengajaran di sejumlah
dayah (Modus: no.26/TH.IV/21-29 Oktober 2006). Kedua, ulama yang menghendaki lahirnya pelarangan suluk, terkadang menggunakan instrumen kekuasaan untuk maksud tersebut. Ketiga, ulama modern dengan latar belakang akademis yang melihat suluk sebagai fenomena sosial-keagamaan semata (Ibrahim, 2001:1).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perdebatan tentang suluk di kalangan ulama Islam belum tuntas, perdebatan pada umumnya didominasi oleh isu penentangan terhadap praktek suluk dari sebahagian ulama. Apalagi karena karya-karya yang ada tentang eksistensi suluk masih sangat terbatas khususnya dalam konteks pesisir utara Aceh. Di Aceh, studi-studi tentang suluk masih menitik beratkan di wilayah pesisir selatan, di dayah darussalam, Labuhan Haji. Sementara studi-studi di wilayah pesisir utara masih kurang mendapatkan atensi jika dibandingkan dengan pesisir selatan (Basri: 2006).
Penelitian ini menggabungkan sumber data perpustakaan, studi dokumentasi dan partisipan guna menjawab pertanyaan bagaimana praktek dan kebangkitan suluk di pesisir utara Aceh dengan mengambil fokus penelitian tentang praktek suluk di beberapa dayah terkemuka berbasis fiqh yang bertempat di dayah Darut Thaibah, Lhoksukon dan dayah Mudi Mesra, Samalanga. Fenomena kebangkitan suluk di dayah yang berbasis fiqh ini menarik untuk disimak, karena dalam sejarah Islam antara komunitas fiqh dengan komunitas suluk hampir tidak pernah berjalan harmonis (Masingnon, 2001: 3). Proses perkawinan antara suluk dan fiqh yang sedang terjadi pada beberapa dayah di Aceh, khususnya di pesisir utara semakin rukun karena difasilitasi oleh beberapa dayah terkemuka yang berbasis fiqh. Praktek yang sedang dilakukan oleh beberapa dayah tersebut akan sangat menentukan warna Islam lokal di masa mendatang.

B. Pengertian Suluk
Belakangan ini, kata “suluk” ditemukan semakin luas pemakaiannya, perspektifnya pun beragam, selain dalam tasawuf juga ditemukan dalam studi antropologi, mistik lokal (Susetya: 2007:80) dan sastra (Simuh, 1988:52). Dalam studi tasawuf, kata suluk paling sedikit mengandung dua perspektif pemahaman. Pertama, suluk menurut ilmuwan tasawuf yang memaknai suluk merupakan perjalanan salik menuju kepada Tuhannya, suluk dalam pengertian ini berlaku secara umum, artinya siapa saja yang berjalan kepada Tuhan dapat disebut salik atau sedang menjalani suluk (Schimmel, 1986:101). Kedua, suluk menurut ulama tarekat, suluk yang mempunyai format tersendiri, dilakukan dalam waktu tertentu untuk mencapai tingkatan ruhaniyah yang lebih tinggi (Atjeh, 1966:105) seperti yang dipraktekkan di kalangan pengikut tarekat naqsyabandiyyah (Said, 2003:79).
Suluk merupakan salah satu aspek penting dari tarekat, itu tidak berarti setiap terekat memakai kata suluk untuk menamai sistem latihan ruhaninya. Suluk dalam setiap tarekat mempunyai metode latihan spiritual tersendiri dengan istilah yang berbeda pula, tergantung pada kebutuhan si murid (Ibrahim, 1994:119). Artikel ini akan menyajikan hasil studi tentang suluk dalam perspektif kedua, yaitu suluk menurut pelaku suluk yang memang sedang berkembang pada beberapa dayah di pesisir utara Aceh.
Dalam perspektif Teungku. Karimuddin suluk bermakna berjalan. Bukan perjalan tubuh, tetapi perjalan hati menuju kepada Allah. Maksudnya nama Allah selalu ada di hati. Suluk mempunyai posisi yang sangat penting bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah karena ruh manusia selalu berhubungan dengan Allah dari sejak penciptaannya di alam malakut hingga kapanpun. Ketika ruh disimpan disatu tempat menunggu terciptanya tubuh, Allah bertanya kepada ruh “bukankan Aku ini Tuhanmu”, dialog ini untuk memperjelas tentang kewajiban ruh manusia tunduk patuh kepada Allah untuk selamanya. Dalam dialog antara Allah dan ruh manusia tersebut terdapat perjanjian ketuhanan.
Karimuddin memaparkan, kesadaran terhadap makna perjanjian ketuhanan tersebut harus terus di bangun melalui pelaksanaan tawajuh selama praktek suluk berlansung. Suluk juga membangun kesadaran terhadap pase-pase yang telah atau akan dilalui manusia, sejak dari penciptaan ruh hingga berdiri di hadapan Tuhan di padang masyar. Setelah lahir ke dunia, manusia tidak mampu mengingat peristiwa dialog dengan Allah di alam malakut tersebut, karena itu untuk menyadarkan manusia tentang hal tersebut perlu dilakukan suluk. Inilah maksud dari suluk, untuk mengembalikan kesadaran manusia tentang adanya perjanjian antara ruh manusia dengan Allah sebelum ia lahir ke dunia.
Sedangkan teungku Muhammad Thaeb berpendapat, suluk mengikuti tradisi Rasulullah. Rasulullah suluk di Jabal Nur, satu bukit di Makkah yang terletak 2 km dari permukaan tanah. Nabi Musa suluk dibukit Tursina 40 hari. Nabi Yunus melakukan suluk dalam perut ikan dengan zikirnya “la iaha illa anta subhanaka inni kuntu minadhalimin”. Menurut Muhammad Thaeb Rasulullah suluk di alam terbuka dengan persediaan makanan ala kadarnya, sementara sekarang suluk dalam keadaan terlindungi dengan makanan yang cukup, kecuali unsur hewani. Karena itu, suluk dikatakan mengikuti jejak Rasulullah dalam membersihkan jiwa. Suluk juga untuk meningkatkan kesadaran jiwa dan jalan mengingat mati.
Berdasarkan pengalaman partisipan dan studi dokumentasi, penulis mencoba menyimpulkan bahwa suluk merupakan sistim latihan diri yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dengan melakukan amalan sesuai dengan petunjuk khalifah atau mursyid. Dimulai dengan mandi taubat, penerimaan ijazah tarekat dan ijazah suluk, melakukan zikir ismuzat dalam kelambu, melaksanakan shalat berjama`ah, tawajuh yang diiringi dengan membacakan silsilah serta pemindahan tingkat zikir oleh Mursyid dalam meningkatkan kesadaran jiwa guna mendekatkan diri kepada khaliq.

C. Suluk di Aceh
Untuk pertama kali suluk di populerkan oleh Khalid Khurdi seorang ahli tarekat dari Kurdistan pada abad ke XII H (Said: 2003) karena itu suluk bukanlah produk lokal Aceh, meskipun di dalam prakteknya ditemui muatan lokal, seperti pembacaan silsilah tarekat dalam bahasa Aceh setelah tawajuh. Suluk mempunyai kaitan erat dengan sejarah masuknya tarekat ke Aceh dan perjalanan mistik Islam di sana, karena suluk memang bahagian penting dari tarekat, khususnya tarekat naqsyabandiyyah.
Suluk masuk ke Aceh lewat pedagang asing terutama Arab, Parsi dan India. Kemudian yang juga turut mendukung penyebaran suluk adalah peran jamaah haji dan pelajar dari Nusantara yang membawa suluk bersama mereka kembali ke tanah air (Sajaroh, 2004:97), tentu ada kemungkinan lain cara suluk masuk ke ke Aceh. Tentang model suluk yang masuk ke Aceh, paling tidak ada dua. Pertama, model suluk yang dibawa Abdul Ra`uf dan kedua, model suluk yang dibawa Muhammad Muda Waly. Selanjutnya, bahasan akan difokuskan pada suluk model yang dibawa Muda Waly. Suluk model Muda Waly sebelum menyeberang ke Aceh telah lebih dahulu berkembang pada beberapa tempat lain di Nusantara seperti di Banten, Pontianak, Madura, Riau dan Minagkabau (Muchsin, 2004:319)
Dari perspektif sejarah, perjalanan mistik Islam di Aceh hampir sama dengan beberapa Negara Islam lainnya, seperti Turki, Arab Saudi ataupun Malaysia, mengalami pasang surut. Di Turki tarekat Bektasy banyak memberikan kontribusi dalam pertahanan militer (Mulyati, 2004:7) pada akhirnya dibubarkan secara paksa oleh Sultan Mahmud II (1808 M-1839 M). Di Arab Saudi penguasa Wahabi melarang keras praktek suluk, rumah suluk ditutup dan kitab-kitab mereka dibakar. Di Malaysia tarekat Aurat Muhammadiyah juga mengalami nasib yang sama, dilarang penguasa di sana ( Jaiz, 2002:41).
Di Aceh, Pada masa Iskandar Muda berkuasa, berkembang praktek ajaran Islam mistik peninggalan Hamzah Fansuri (1588-1604), yang kemudian diteruskan oleh muridnya Syamsuddin as-Sumatrani (1575-1630). Keadaan ini berubah setelah Nuruddin Ar-Raniry dari Ranir menjadi penasehat keagamaan di Kerajaan Aceh menggantikan posisi Syamsuddin As-Sumatrani pada masa Iskandar Tsani menantu dari Iskandar Muda. Ar-Raniry memfatwakan bahwa ajaran teologi wujudiah Hamzah Fansuri dan pengikutnya sesat. Fatwa tersebut melahirkan insiden berdarah yang menyebabkan terbunuhnya 70 ahli tarekat.
Kemudian Ar-Raniry menggunakan kekuatan negara untuk membubarkan doktrin tasawuf wujudiyah, karena dalam perspektif Ar-Raniry tidakan itu penting ia lakukan untuk menegakkan paham Islam yang benar, tentu saja menurut interpretasinya. Walaupun tindakannya tersebut jelas terkesan represif, tindakan Ar-Raniry yang didukung oleh Sultan lebih mencerminkan praktek politik kekuasaan (Mulyati, 2006:92) ketimbang kearifan sufi sebagaimana dijalankan walisongo ketika melakukan dakwah Islamisasi pada pusat peradaban Hindu di pulau Jawa (Sutrisno, 2007:5). Ia tidak mendorong terbentuknya ruang dialog tetapi lebih mengedepankan tindakan militer. Pada masa pemerintahan Ratu Safiyatuddin, Ar-Raniry dikalahkan secara intelektual dalam debat terbuka yang berlangsung secara maraton oleh Saiful Rijal seorang ulama Minangkabau yang baru kembali dari India (1643). Keterlibatan Saiful dengan perdebatan tersebut bukan hanya karena ada hubungan emosional dengan gurunya Jamaluddin, di mana ia pernah menimba ilmu padanya (Azra, 2004:214), namun posisinya sebagai ulama mendorong ia mengambil bagian dalam jelaskan pandangan-pandangannya tentang beberapa isu yang sedang hangat diperdebatkan waktu itu.
Selanjutnya, citra tasawuf coba diangkat oleh Muhammad bin Ahmad al-Khatib (1727) dengan cara mengemasnya dalam satu artikel yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu kemudian diterbitkan bersamaan dengan artikel ulama lainnya dalam bentuk sebuah kitab Jam Jawami` al-Mushannafat, atau dikenal dengan sebutan “kitab lapan” (Badal, 2004:121) kitab ini dipakai secara luas di Aceh, baik oleh santri atau masyarakat umum.
Berikutnya, Muhammad Hasan Krueng Kalee (18 April 1886), ulama dayah pertama yang memperkenalkan tarekat al-Haddadiyah di Aceh yang langsung diambil dari gurunya di Makkah. Dayah pimpimnya di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar banyak melahirkan ulama baru dan berpengaruh di Aceh (Razali, 2004:78). Pada masa ini praktek Islam mistik disebarkan secara luas ke tengah-tengah masyarakat Aceh melalui murid-murid yang datang belajar padanya. Kaum mistik sangat dihormati terutama mereka yang dalam jenjang spiritual telah mencapai tingkatan Auliya, mereka dipercaya mendapat kelebihan dari Tuhan. Berkah dari Auliya diharapkan secara luas oleh masyarakat. Nama mereka disebut secara luas dalam banyak kegiatan, dalam memulai doa, permainan senjata, kesenian, pengobatan atau menolak bala dunia akhirat (Hurgronje, 1996:115) Kepercayaan tentang adanya keramat Auliya baik semasa hidup ataupun setelah wafat masih terdapat di Pesisir Uatara Aceh, terbukti dengan masih dijumpai beberapa penziarah yang mencuci kepala ”rhah ulee” di kuburan yang dianggap keramat. Masyarakat Aceh secara umum mempercayai adanya Auliya, orang yang mempunyai hubungan khusus dekat dengan Allah. Kepercayaan tersebut akibat dari pengaruh Islam mistik di Aceh secara luas dan masih terdapat hingga hari ini. Hurgronje juga melaporkan bahwa praktek Islam mistik berkembang dan diterima secara luas pada akhir abad ke XIX.
Tokoh lain yang mengkritik praktek Islam mistik adalah Abdullah Ujong Rimba (1907) ulama Aceh yang memimpin MUI(1965-1982). Ia menulis beberapa artikel yang diantaranya menyerang praktek dan faham Islam mistik yang dianggapnya bertentangan dengan Islam seperti faham wahdatul wujud, meskipun ia juga pernah mempelajari tarekat al-Haddadiyah dari Muhammad Hasan Krueng Kalee (Muchsin, 2004:218), namun serangan-serangan Abdullah bersifat intelektual, tidak sedahsyat serangan yang dilakukan Ar-Raniry terhadap pengikut paham Hamzah Fansuri.
Menelusuri praktek suluk abad 20 di Aceh, maka akan bertemu dengan Muhammad Muda Waly yang merupakan tokoh penting pada paruh kedua abad itu. Ia menerima tarekat dari Abdul Ghani al-Kamfari di Padang. Setelah kepulangannya ke Aceh (1939) ia mendirikan rumah suluk di salah satu bahagian dayahnya dekat dengan darul muttaqin. Dari sini suluk berkembang ke seantero Aceh melalui murid-muridnya (Muchsin, 2004: 319).
Praktek Islam mistik kembali didekte, tanggal 8 Nopember 1974 Majelis Ulama Aceh kembali mengeluarkan fatwa bahwa tarekat termasuk praktek suluk kembali dilarang (Said, 2003:166). Fatwa ini sama dengan fatwa yang pernah disampaikan oleh Abdullah Ujong Rimba secara pribadi dalam artikelnya, tidak mempunyai kekuatan untuk menekan pergerakan tarekat dan suluk di Aceh, malahan semakin mendapat sambutan masyarakat dari berbagai strata sosial mulai dari masyarakat awam, pedagang, pejabat pemerintah, tengku dayah, politisi hingga akademisi.
Setelah tahun 2000, suluk semakin berkembang, terutama setelah penandatanganan MOU Helsinky antara Pemeritah Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Suasana damai dan rasa aman di kalangan masyarakat Aceh terus membaik. Keadaan ini semakin memberi semangat dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah bagi para partisipan suluk yang datang ke tempat-tempat suluk dari berbagai tempat di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengapa pelarangan suluk yang dilakukan oleh beberapa ulama hampir selalu menggunakan tangan penguasa seperti yang terjadi di Turki, Arab Saudi maupun di Aceh. Padahal cukup banyak ulama Islam terkemuka yang menjadi pelopor sekaligus pendukung praktek suluk. Ada kemungkinan faktor politik atau kepentingan kelompok merasa disaingi oleh pengaruh popularitas tokoh-tokoh suluk yang memang lebih mudah diterima oleh banyak masyarakat Muslim di banyak tempat.

D. Praktek Suluk
“Meunyo hana lage nyo, cit hana ta teumueng ibadah yang pah, gadoh gabuk ngon but hana peureulee” (kalau tidak ikut suluk, ya tidak sempat untuk beribadah yang pas, sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu), kalimat dalam bahasa Aceh itu, diucapkan seseorang kepada saya ketika dia baru saja selesai berwudhuk sambil menguatkan ikatan kain sarong di pinggangnya, belakangan saya tahu ia seorang Tengku dayah dari Gampong (baca: Kampung) Paya yang juga ikut suluk. Saya sambil berwudhuk memandang wajah teungku itu yang terkesan jengkel kepada dirinya sendiri karena banyak ibadahnya yang dirasakan penuh kekurangan. Penulis meresponnya “Di lon baro phon teungku, hana lon tue`oh sa`oh” (saya baru pertama ikut suluk teungku, saya tidak mengerti sama sekali). Teungku Dayah itu bergegas pergi untuk melakukan shalat berjama`ah Magrib. Dialog awal di tempat wudhuk itu singkat, namun membuat saya penasaran dan mendorong rasa ingin tahu saya lebih banyak tentang apa yang ada dalam pemikiran dan pemahamannya tentang praktek suluk.
Dialog itu permulaan yang penting bagi penulis dalam mengeksplorasi informasi dan praktek suluk secara partisipatif di dayah Darut Thaibah. Penulis merekam pengalaman teungku dayah tersebut, ia bernama Alfian (bukan nama sebenarnya) guna memahami praktek mistik tersebut. Sebagai teungku, Alfian menguasai pengetahuan bidang syariat dan suluk, karena ia telah beberapa kali mengikutinya pada beberapa tempat yang berbeda.
Pada bulan suluk tempat-tempat suluk ramai dipenuhi oleh para salikin yang datang atas inisiatif sendiri dari berbagai tempat di wilayah Aceh. Meskipun fasilitas ibadah di tempat itu sangat sederhana, namun gairah beribadah dan belajar mereka cukup tinggi. Setelah tiba di lokasi, peserta suluk hanya melapor kepada panitia secara lisan, demikian juga ketika kembali. Fenomena ini mengandung aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif adalah para peminat suluk dapat dengan mudah mengikuti praktek suluk tanpa tersita waktu sedangkan aspek negatif adalah pengelola suluk tidak mengetahui “kemungkinan” apakah orang yang akan mengikuti suluk akan bermasalah bagi dirinya sendiri karena gangguan kesehatan atau bagi orang lain di lingkungannya. Karena itu, menurut penulis, penyelenggaraan suluk perlu dilakukan secara terpadu baik secara operasional maupun administratif. Walaupun tidak sampai ke tingkat kepolisian tapi paling tidak dengan pemerintah setempat sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan akan dapat di koordinir secara baik. Peristiwa berdarah yang menyebabkan beberapa orang jama`ah suluk terbunuh di Arongan, Samalanga pada bulan Ramadhan 2008 merupakan contoh tindakan preventif dalam pengelolaan suluk diperlukan.
Menjelang magrib teungku Alfian telah mandi taubat sebagai syarat memasuki suluk yang disertai dengan niat untuk bertaubat kepada Allah. Allah menggugurkan seluruh dosa-dosanya selama ia beribadah. Setelah salat magrib, penulis, teungku Alfian dan beberapa jamaah suluk lainnya dijamu makan malam oleh salah seorang anak teungku Muhammad Thaeb. Ketika kami sampai ketempat tersebut makanan telah siap hidang dan kami lansung dipersilakan makan, teungku Alfian bertanya kepada saya “pu kaleuh neumano taubat?”(apa sudah mandi taubat?). Saya jawab “golom teungku” (belum teungku), lalu kepada saya disodorkan daging mak meugang puasa. Penulis mendapat penjelasan bahwa jika belum mandi taubat boleh makan daging tetapi jika sudah tidak boleh lagi. Kami makan agak buru-buru karena sudah mendekati waktu salat `Isya, setelah itu kami mohon diri.
Selama jamaah mengikuti suluk, makanan dibatasi sekedar memperoleh tenaga untuk beribadah, yang dikonsumsi juga sangat hati-hati, terutama menghindari makanan dari unsur hewani. Latihan ini bertujuan untuk mereduksi gangguan gejolak birahi dan proses persiapan mental jama`ah dalam memasuki rangkaian latihan mistik. Untuk itu, hampir seluruh aspek yang terkait dengan tujuan mistik tersebut dipraktekkan secara seksama baik secara lahiriyah dan batiniyah.
Di ruang salat orang-orang telah berkumpul, jamaah perempuan di bahagian belakang dan jamaah laki-laki di bahagian depan yang dibatasi dengan ija tabeng (kain penghalang). Suasana jamaah dalam ruangan itu seperti sedang menunggu sesuatu. Teungku Alfian langsung saja berbaur ke tengah-tengah jamaah. Tidak lama kemudian seorang jamaah meletakkan sebuah kursi di tengah kumpulan jamaah yang ternyata diperuntukkan untuk tempat duduk Mursyid guna menyampaikan ijazah tarekat dan ijazah suluk kepada siapa saja yang berminat. Penyampaian ijazah keduanya tidak hanya dilakukan pada malam puasa pertama namun terjadi juga pada bulan suluk lainnya.
Ia bersama jamaah suluk lainnya duduk tahyat terbalik ke kiri dengan meletakkan pergelangan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri di depan mursyid dalam keadaan berwudhuk, memegang tasbih dan menutup kepala dengan selendang hingga ke wajah. Ujung selendang di ikat sambung-menyambung antara satu jamaah dengan lainya hingga bersambung dengan ujung selendang mursyid. Menurut Muhammad Thaeb selaku mursyid suluk di dayah Darut Thaibah, ikatan selendang tersebut merupakan simbol yang menggambarkan bahwa keselamatan dapat diperoleh hanya dengan menghubungkan hati dengan jalan Rasulullah. Inilah kesadaran awal yang harus ditanamkan dalam jiwa jamaah selama mengikuti suluk. Selain mandi taubat, masih ada dua hal penting lainnya yaitu, penerimaan ijazah tarekat dan ijazah suluk sebagai fundamen memasuki praktek suluk
Memasuki suluk, Mursyid mengawali acara dengan membaca istighfar, membaca syahadat tiga kali dengan satu nafas, kemudian berniat “nawaitu suluka asyratu ayyamin talabal li mardhatillah wa mu`tamidan `alallah wa atba`a sunnatin Rasulillah” maksudnya sengaja aku memasuki suluk sepuluh hari karena menuntut keredhaan Allah, karena berpegang kepada Allah karena mengikuti sunnah Rasulullah. Suasana mistik terasa ketika para jamaah suluk duduk mengitari mursyid dalam keadaan menutup kepala untuk menerima ijazah tarekat dan ijazah suluk. Ayat-ayat suci al-Quran yang dibacakan mursyid dan cara jamaah mengikuti bacaan mursyid semakin menghidupkan suasana mistik di tempat tersebut.
Para jamaah yang memasuki suluk dibimbing oleh mursyid dalam berniat sesuai dengan jumlah hari yang akan dijalaninya, apakah 10 hari, 20 hari, 30 hari atau 40 hari. Setelah proses penerimaan ijazah dan bimbingan selesai, acara ditutup dengan membaca surat al-Ikhlas 3 kali, do`a dan membaca selawat bersama-sama. Lebih lanjut Muhammad Thaeb menjelaskan, suluk merupakan tradisi ibadah para Nabi terdahulu, sebagaimana ditemui dalam sejarah bahwa Rasulullah pernah suluk selama 3 hari, 7 hari, 10 hari dan 40 hari. Seperti juga puasa yang telah ada pada umat-umat terdahulu yang berguna dalam meningkatkan kemampuan ruhaniyah manusia. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh sebahagian ulama tarekat. Selanjutnya Mursyid menyerahkan kendali jamaah kepada para khalifah. Ada juga masyarakat yang bernazar kepada Allah dengan suluk. Untuk suluk nazar harus diniatkan nazar oleh salikin.
Bulan suluk merupakan kesempatan mengintensifkan amal dalam tarekat Naqsyabandiyah. Dalam bulan ini para jama`ah beramal dengan disiplin ketat yang dikemas dalam tahapan pelajaran suluk, sedangkan diluar bulan suluk tidak demikian. Bagi Teungku Alfian suluk merupakan sarana mendisiplinkan diri dalam menjalankan ibadah shalat berjama`ah diawal waktu, tetap menjaga wudhuk, banyak berzikir sedikit berbicara dan banyak merenungi kekurangan diri yang dipraktekkan lewat tawajuh setiap selesai salat wajib kecuali magrib.
Teungku Alfian membawa perbekalan dan perlengkapan secukupnya selama berada di lokasi, demikian juga dengan jamaah suluk lainnya, mengingat panitia hanya menyediakan tempat, nasi putih dan air panas. Ia memilih tempat untuk mengikat kelambunya di lantai dua di antara deretan kelambu suluk lainnya. Kelambu merupakan simbol penting dalam suluk, karena kegiatan inti dari suluk di pusatkan di dalamnya. Cita-cita Teungku Alfian ingin memperoleh kebahagiaan di akhirat, katanya di celah-celah waktu yang ada dalam membagi informasi suluk kepada penulis. Menurut teungku Alfian, dalam mengikuti suluk terdapat tiga komponen amalan utama. Pertama salat wajib dan salat sunat berjamaah. Kedua, berzikir sesuai dengan tingkat pelajaran suluk yang telah diterima dari mursyid dan ketiga, tawajuh. Inilah tiga amalan pokok yang dipraktekkan selama berlangsung suluk.
Sebagaimana telah disinggung di atas, praktek suluk yang sesungguhnya dilakukan dalam kelambu. Amalan utama di dalamnya adalah zikir, baik zikir ismu zat maupun lathaif sembilan. Dari mulai memasuki kelambu hingga keluar mempunyai aturan tertentu. Susunan amalan dalam kelambu di mulai dengan 1) berwudhu`, 2) shalat hajat, 3) duduk menghadap kiblat, 4) duduk seperti tahyat akhir pada kaki kiri, 5) memejamkan mata, 6) berniat untuk bertaubat dari segala dosa yang diiringi dengan membaca istighfar sedikitnya 5x, 7) membaca fatihah 1x, surat al-Ikhlas 3x untuk ruh Rasulullah dan ruh pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah dengan harapan terbuka jalan ma`rifah kepada Allah, 8) mengingat mati, 9) menghadirkan rupa Mursyid, 10) membayangkan nama Allah dalam hati sanubari, 11) mengatakan dalam hati “Ilahiy anta maqshudiy wa ridhaka mathlubiy”, 12) membaca do`a taubat. Amalan dalam kelambu juga disesuaikan dengan tingkat pelajaran seorang jamaah (Muhammad Waly, 2004: 2).
Para pelaku suluk dalam mengikuti praktek mistik ini ada yang mengikuti dari awal, ada yang mengikuti di pertengahan dan ada juga pada 10 akhir Ramadhan. Ada jamaah yang pulang dan banyak juga yang datang. Karena itu tempat suluk selalu ramai dari awal Ramadhan hingga menjelang Idil Fitri. Selama mengikuti suluk seluruh jamaah diwajibkan shalat berjama`ah 5 kali sehari semalam yang di iringi dengan mengqadha salat wajib. Salat sunnat qablyah dan ba`diyah juga tetap dilakukan, sedangkan pada waktu dhuhur di tambah dengan salat sunnat taubah. Setelah selesai salat dilakukan tawajuh kecuali setelah salat magrib, mengingat waktu yang sempit menjelang `Isya. Kegiatan tawajuh diwajibkan selama mengikuti suluk sedangkan di luar itu praktek tawajuh dilakukan apabila waktu memungkinkan, demikian juga dengan pembacaan zikir.
Setelah salat taraweh malam pertama, khalifah memberikan pelajaran suluk dan adab-adabnya kepada seluruh jamaah di ruang salat. Bagi para pemula yang mengikuti suluk harus berzikir ismuzat dengan menyebut Allah…Allah…Allah dalam hati sebanyak 70000 kali dalam sehari semalam dalam kelambu. Hal ini dilakukan selama 3 hari dan cara menghitung jumlah tersebut terserah kepada inisiatif pribadi. Adapun zikir di luar kelambu tidak di hitung ke dalam jumlah tersebut, demikian penjelasan Tengku Boy Haqi, salah seorang khalifah yang memimpin suluk di dayah Darut Thaibah. Zikir tersebut belum termasuk ke dalam pelajaran inti suluk, ini baru tahap persiapan memasuki taraf yang lebih tinggi. Setelah melewati fase zikir ismuzat, kemudian pelajaran dinaikkan ke tingkat “lathaif sembilan” oleh Mursyid. Tengku Alfian, demikian juga dengan jamaah lainnya harus mematuhi serangkaian adab dalam suluk. Mulai dari adab terhadap Mursyid, adab terhadap diri sendiri, adab sesama jama`ah dan adab dalam menjalankan ibadah di lokasi suluk. Menanamkan adab ke dalam jiwa jama`ah guna membangun karakter yang kuat dan kesadaran berakhlaq.
Teungku Boy Haqi juga menyampaiakan unsur penting tawajuh selama mengikuti suluk. Dalam tawajuh dapat diberikan muatan sesuai dengan tingkat pengetahuan mistik seorang jamaah. Bagi pemula, dalam tawajuhnya cukup membacakan zikir ismu zat, yaitu mengingat Allah sebanyak-banyaknya dalam hati sedangkan bagi mereka yang telah mahir dapat melaksanakan seluruh unsur-unsur tawajuh dapat mengisinya sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
Pelaksanaan tawajuh kadang-kadang diawali dengan nasehat oleh pemimpin tawajuh yang mengingatkan para jamaah bahwa ketika sampai ke dalam kubur kita akan sangat menyesal mengapa kita tidak bertaubat semasa masih hidup di dunia, mengapa kita tidak mengerjakan ibadah selama masih hidup, penyesalan seperti itu sudah tidak ada arti lagi, penyesalan seperti itu adalah penyesalan orang-orang kafir. Penyesalan yang dirasakan oleh orang-orang kafir jangan sampai kita alami, karena itu mari kita semuanya bertaubat kepada Allah. Karena kita semua mempunyai dosa pada Allah kecuali para Nabi dan Rasul yang maksum. Sebaik-baik orang berdosa adalah orang yang bertaubat kepada Allah. Karena itu mulai dari sekarang kita harus benar-benar menyesali terhadap seluruh dosa yang telah kita kerjakan. Dengan penyesalan ini kita akan memperoleh pertolongan Allah dalam kubur, namun jika kita membawa amalan yang dimurkai Tuhan, kita akan memperoleh kerugian, di mana dalam kubur akan tercium bau sangat busuk. Demikian di antara nasehat salah seorang Khalifah dalam mengawali tawajuh.
Setelah nasehat tawajuh kemudian khalifah membaca “takbir” sebanyak tiga kali yang kemudian disambut oleh khalifah pendamping dengan membacakan ayat tertentu dari al-Qur`an seperti ayat “ya ayyuhan nafsun mutmainnah...”dan dalam tawajuh yang lain dibacakan ayat “ya ayyuhal ladzina amanu latul hikum amwalakum…” dan dalam kesempatan yang lain lagi dibacakan ayat “alam ahadna ilaikum ya bani adama alla ta`budus syatan…”kemudian dilanjudkan dengan membacakan “astaghfiullahal adhim allazie la ilaha illa Huwal Hayyum Qayyum wa atubu ilaihi” yang dibacakan bersama-sama secara berulang. Kemudian suasana menjadi sunyi senyap karena tawajuh sedang berlangsung. Dalam keadaan sunyi senyap ini seorang jamaah mulai menempuh tahapan; menghadirkan mursyid, menghadirkan rabithah maut, menghadirkan rabithah kubur dan menghadirkan hari kiamat. Karena itu tawajuh merupakan proses membangun kesadaran jiwa terhadap rangkaian peristiwa kehidupan yang telah dan akan dilalui oleh manusia mulai dari sejak ia lahir hingga bertemu dengan Allah.
Tawajuh maupun suluk saling melengkapi dan diyakini dapat menghasilkan energi positif dalam membentuk kepribadian yang memiliki kecerdasan spiritual guna meningkatkan daya tahan terhadap berbagai tekanan eksternal maupun internal. Kecerdasan spiritual pada tahap awal diarahkan untuk menyadari dosa-dosa yang telah dilakukan. Kemudian, dalam suasana hening dan penuh nuansa mistik jamaah di bimbing oleh khalifah memasuki tawajuh. Dalam suasana hening kadang-kadang terdengar suara tangisan dan ratapan dosa di antara jamaah memohon ampun yang membuat perasaan merinding. Tangisan dalam tawajuh mengekspresikan adanya dialog dalam jiwa jamaah yang merupakan proses introspeksi diri. Peristiwa mistik yang lain terasa ketika penghayatan terhadap amalan-amalan selama dalam kelambu ketika melakukan bacaan wirid-wirid.
Amalan dan wirid-wirid yang dibacakan jama`ah ketika melakukan tawajuh dipercaya dapat memberikan energi gaib kedalam air yang telah diletahkan dalam majelis tersebut dan dapat digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit. Air tawajuh yang telah memperoleh energy positif dari ritual tersebut juga di percayai mengandung unsur mistik, daya penyembuhan. Kepercayaan ini kelihatannya sesuai dengan hasil research modern sebagaimana dipaparkan dalam buku the true power of water, karya sarjana Jepang, dimana hasil penelitian menunjukkan air menerima pengaruh dari ucapan manusia (Emoto, 2006:50).
Setelah selesai tawajuh, dilanjudkan dengan pembacaan silsilah tarekat dalam dua bahasa, bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tradisi pembacaan silsilah sebagai bentuk introduksi terhadap silsilah suatu tarekat dan menjadi referensi untuk pertanggung jawaban asal-muasal tarekat tersebut. Namun, tidak semua tarekat menganut model sanad tersebut, misalnya tarekat Tijaniah (Muhaimin, 1997:2) dan tarekat Mufarridiyah. Penggunaan bahasa Aceh dapat dipahami sebagai strategi cerdas para penyebar suluk di sana dalam memilih instrumen untuk mengkomunikasikan nilai-nilai mistik Islam kepada publik dengan memanfaatkan instrumen lokal.
Para pengembang tarekat di pesisir Utara Aceh menggunakan bahasa daerah tersebut untuk megakrabkan tradisi tarekat dengan masyarakat lokal. Seperti yang terdapat dalam rangkaian praktek tawajuh dimana pada akhirnya di bacakan silsilah tarekat Naqsyabandiyah dalam bentuk nazam yang telah diterjemahkan oleh Tgk. H. Muhammad Waly pada tahun 1370 H ke dalam bahasa Aceh menggunakan tulisan Arab Melayu, kemudian nazam tersebut diberi nama “obat hati“. Nazam tersebut mengindikasikan bahwa kretifitas para mursyid telah digunakan untuk mensosialisasi nilai-nilai tarekat kepada para jama`ah. Disamping pembacaan nazam sisilah terekat dalam bahasa Aceh juga dibacakan sya`ir-sya`ir tentang perkembangan tarekat dicelah-celah shalat taraweh.
Aspek lain dalam suluk adalah aspek pemaknaan simbol-simbol seperti menghadirkan rupa Mursyid, fungsi selendang, penggunaan kelambu, pola duduk dalam berzikir dan biji tasbih.
Menurut Muhammad Thaeb, selendang merupakan simbol penting dalam kominitas suluk, eksistensi selendang yang berwarna-warni dengan corak dan motif yang berbeda-beda mempunyai berapa makna penting. Pertama, selendang merupakan simbol dari kewajiban bagi setiap jama`ah suluk mengingat hatinya dengan Rasulullah, karena ia merupakan satu-satunya jalan menuju keselamatan. Kedua, selendang merupakan simbol bahwa jama`ah harus membatasi diri dari pengaruh dunia dan selalu mengingat bagaimana nasibnya setelah ia mati. Ketiga, selendang juga di pakai sebagai serban, merupakan simbol keharusan jama`ah membangun kemulian dan kehormatan diri dengan jalan meningkatkan keta`atan kepada Tuhan dan keempat, selendang juga simbol ikatan persaudaraan sesama jama`ah suluk.
Di kalangan komunitas suluk, kelambu merupakan pusat kegiatan mistik selama suluk berlansung, adapun diluar kelambu lebih bersifat edukasi. Ketika seorang jam,a`ah hendak masuk kelambu dikatakan masuk kubur. Simbol ini bertujuan menanamkan kesadaran kepada pelaku suluk bahwa kematian adalah pasti akan di hadapi, karena itu memperbaiki kesalahan baik kepada Tuhan maupun sesama manusia harus segera. Kelambu lazimnya disebut kubur dan merupakan simbol kematian yang ditempatkan pada tempat yang gelap agar si salik dapat mengalami kegelapan secara sengaja dan sadar sehingga nilai-nilai kegelapan yang dihayati akan menerbitkan kesadaran betapa kegelapan kubur jauh mlampaui semua kegelapan dunia.. Efek gelap termasuk unsur penting yang perlu disadari jama`ah, karena kegelapan adalah simbol kesengsaraan yang perlu ditelusuri maknanya.
Rangkaian biji tasbih yang selalu ada di tangan untuk menghitung zikir merupakan simbol dari keharusan menghidupkan kesadaran hati dengan senatiasa berzikir kepada Allah. Dalam menggunakan biji tasbih (boh meusabah) yang menjadi target awal adalah agar hati terlatih untuk mengingat Allah seiring perputaran biji tasbih di tangan.
Pada hari jumat teungku Alfiyan menuju mesjid dengan berjalan kaki bersama dengan jama`ah suluk laki-laki lainnya, karena di wajibkan mengerjakan shalat jum`at pada mesjid yang dekat dengan lokasi suluk. Selama dalam perjalanan menuju ke mesjid ia menutup kepalanya dengan selendang, berbicara seperlunya dan terus berzikir kepada Allah.

E. Dua Tokoh Suluk
Studi dokumentasi yang penulis lakukan guna mengetahui tokoh penting yang terkait dengan penyebaran suluk di pesisir utara Aceh, paling tidak memperlihatkan dua tokoh penting, yaitu Muhammad Muda Waly dan Muhammad Thaeb. Muhammad Muda Waly merupakan guru langsung dari Muhammad Thaeb.

Muhammad Muda Waly
Menelusuri praktek suluk abad XX di Aceh, maka akan bertemu dengan Muhammad Muda Waly. Ia merupakan icon dan tokoh penting yang menghidupkan suluk di sana. Ia lahir tahun 1917 M di Labuhan Haji, Aceh Selatan. Setelah memperoleh pengetahuan dasar tentang Islam dari ayahnya Muhammad Salim, kemudian ia melakukan perjalanan studi keliling pada beberapa dayah secara berpindah-pindah dari Aceh hinggga ke Padang. Dari Padang ia bersama istrinya menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kembali lagi ke Padang. Menjelang kepulangannya ke Aceh ia mendalami pengetahuan tentang suluk secara formal dari Abdul Ghani al-Kamfari di Padang dan melakukan praktek suluk selama 40 hari di sana. Setelah kepulangannya ke Aceh (1939) ia mendirikan rumah suluk di salah satu bahagian dayahnya dekat dengan bangunan darul muttaqin. Dari sini, suluk melalui murid-muridnya kemudian berkembang ke seantero Aceh (Muchsin, 2004: 319). Kelihatannya, Waly melakukan perjalanan intelektuan-spiritual Aceh-Padang-Makkah dan sebaliknya.
Latar belakang pendidikannya adalah dayah, karena itu pengalaman tersebut turut mendorongnya untuk mendirikan dayah sendiri setelah kepulangannya dari Padang. Dayah tersebut diberi nama Darussalam yang banyak menarik minat pelajar dari dalam dan luar Aceh. Ia seorang ulama yang mempunyai pengaruh luas di Aceh. Murid-muridnya mendirikan Dayah terkemuka hampir diseluruh pelosok Aceh yang dapat disasikan hingga hari ini.
Muda Waly memang lain, ia milik masyarakat daerahnya, kehadirannya diharapkan. Keluarganya menjadi panutan masyarakat di sana, karena itu telah ada proses penerimaan awal dari masyarakat. Ia menjadi rujukan ulama Aceh lainnya dalam mensikapi dinamika sosial-politik waktu itu. Kemampuan Muda Waly memposisikan dirinya dalam dinamika sosial-politik mendorong Presiden pertama Indonesia, Sukarno menaruh hormat pada Muda Waly. Performan yang demikian memberi ruang untuk pengembangan suluk. Dari sejak Muda Waly hingga kini perkembangan suluk di Aceh semakin meluas karena memang tiak ada rintangan yang berarti.

Muhammad Thaeb
Ia dikenal dengan panggilan teungku Putoe. Peuto sebenarnya adalah nama sebuah sungai di Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Ia berasal dari sana, karena itu digelar dengan teungku Putoe. Muhammad Thaeb merupakan alumni dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan dan murid lansung dari Muhammad Muda Waly (Muhibuddin Waly, 1994:20). Ia belajar berbagai ilmu Agama pada gurunya itu termasuk ilmu tarekat dan suluk. Hari ini Muhammad Thaeb merupakan tokoh suluk yang penting di pesisir utara Aceh, karena melalui usahanya suluk berkembang disana.
Tentang silsilah dan kemursyidan Muhammad Thaeb, lihat dalam tulisan Muhibuddin Waly,, nazam tatrekat naqsybandiyyah al waliyah (Labuhan Haji: 2004), h. 6.
Menurut Muhammad Thaeb ia bersama dengan dua rekan seperguruannya teungku Jamaluddin dan teungku Peudada kembali ke Pesisir Utara Aceh tahun1952 (data lain menulis 1958). Di antara ketiga murid Muda Waly tersebut hanya Muhammad Thaeb yang menghidupkan tawajuh dan suluk secara inten. Ia memulai kegiatan mistiknya dengan praktek tawajuh pada malam rabu yang dikuti oleh hanya tiga orang jama`ah. Praktek tawajuh seperti itu dilakukan selama tiga tahun di rumahnya. Kadang-kadang ada juga teungku yang datang dari Meulaboh ke tempatnya untuk memberikan dorongan moril seperti yang dilakukan oleh Tgk. Jailani. Praktek tawajuh kemudian ditingkatkan dengan praktekkan suluk pada tahun 1975.
Untuk mengembangkan praktek mistik tersebut, baik tawajuh maupun suluk kemudian Muhammad Thaeb mendirikan dayah dengan nama Darut Thaibah yang berada lansung dibawah pimpinannya yang terletah di Jalan Cot Girek km 3 Lhoksukon, Aceh Utara. Pada awal berdirinya dayah tersebut, disamping diajarkan berbagai ilmu agama, juga diajarkan praktek tawajuh dan praktek suluk kepada para santri yang berminat. Pengetahun mistik tersebut di pelajarinya lansung dari Buya. Jumlah santri dan masyarakat yang ingin belajar kepada Muhammad Thaeb, dari hari ke hari semakin meningkat, mengharuskan dayah diperlus dari ukuran semula. Meskipun fasilitas ibadah ditempat suluk sangat sederhana namun semangat belajar dan beribadah para jama`ah disana cukup tinggi. Dayah Babussalam di Alue Bili, dayah Mudi di Samalanga dan dayah Darul Munawarah di Kuta Krueng memiliki fasilitas lebih baik dibandingkan dengan dayah Darut Thaibah yang terlihat tua dan tidak terawat.
Dalam mengembangkan praktek mistik tersebut Muhammad Thaeb bukan tidak ada tantangan. Disamping tantangan materil untuk membangun dayahnya juga tantangan psikologis yang datang dari anggota Muhammadiyah dan teungku-teungku yang tidak sepaham dengannya. Dalam perspektif penentang bahwa orang-orang Darut Thaibah beramal tidak seperti cara-cara yang mereka pahami. Namun karena Muhammad Thaeb berpenampilan tegas dan berani mereka hanya berani di belakang. Menurut penuturannya, ia pernah beberapa kali mengundang mereka yang menentang ke dayahnya, namun mereka enggan memenuhi undangan muzakarah tersebut dengan alasan yang tidak jelas. Dalam kesempatan lain pernah terjadi dialog selama 7 hari yang akhirnya para pendebat tersebut meninggalkan dayah tanpa permisi.
Muhammadiyah menyoroti pemakaian sorban dan cara berzikir jama`ah suluk yang menurut mereka tidak ada dasarnya dalam sunnah. Tantangan lain datang dari situasi keamanan dan gejolak politik yang belum stabil karena ada pertikaian antara pemerintah pusat dengan gerakan politik DI/TII. Keadaan ini menyulidkan Muhammad Thaeb dalam mengembangkan aktifitas dayahnya. Keadaan keamanan pada waktu itu hampir mirip dengan keadaan ketiga terjadi pertikaian politik bersenjata antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sehingga, sebahagian masyarakat merasa serba salah dalam berinteraksi sosial karena dapat menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak yang bertikai (Al Chaidar: 1999).
Lima belas tahun setelah berdirinya dayah Darut Thaibah, jumlah peserta suluk semakin meningkat yang datang ke dayah tersebut dari berbagai daerah di Aceh. Dari sinilah kemudian suluk menyebar hampir keseluruh pesisir utara Aceh. Suluk yang dipraktekkan pada beberapa dayah di pesisir utara Aceh hari ini pada umumnya berdasarkan tarekat Naqsyabandiyah yang sebahagian besar penyebarannya merupakan jerih payah Muhammad Thaeb. Minat masyarakat untuk mengambil ijazah tarekat dan suluk padanya selalu ada terutama pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan suluk lainnya. Sekarang, tempat-tempat suluk dari hasil pengembangan jaringan yang dilakukannya telah lahir hampir disepanjang pesisir Utara Aceh.
Muhammad Thaeb merupakan pemimpin suluk (Mursyid) tertua di Aceh pada waktu ini, meskipun usianya telah mencapai 90 tahun, ia masih mempunyai semangat yang tinggi dalam memimpim dan memperluas penyebaran suluk hingga ke beberapa tempat di Aceh Timur dengan menggunakan angkutan umum. Ia juga melayani berbagai pertanyaan keagamaan dari siapa saja meskipun pendengarannya sudah terganggu namun ingatannya cukup kuat, ia mampu menguraikan berbagai peristiwa masa lalu yang dilaluinya secara terperinci, tetap shalat berjama`ah walaupun secara duduk. Ia masih pergi berbelanja kepasar untuk membeli keperluan keluarganya. Bagi sebahagian masyarakat Aceh ada tradisi yang berbelanja kepasar kaum laki-laki, apalagi dari kalangan Teungku. Di usianya yang sudah lanjud, ia masih mampu mengurus diri dan keluarganya sendiri. Untuk orang seusianya, ia tergolong sangat tangguh, suaranya lantang dan jelas ketika berbicara.
Di pesisir ujtara Aceh Muhammad Thaeb cukup dikenal bukan hanya dikalangan pelaku suluk tetapi juga oleh sebahagian besar masyarakat. Meskipun demikan, pemimpin suluk untuk seluruh Aceh pada waktu ini adalah Muhibuddin Waly, anak kandung dari Muhammad Muda Waly. Muhibuddin Waly meneruskan perjuangan ayahnya menyebarkan suluk. Ia juga mempunyai pengalaman dan hubungan yang luas dengan banyak pihak seperti, akademisi, politisi, pemerintah dan GAM.
Di dayah Darut Thaibah 65 % usia mereka telah lanjud. Berbeda dengan praktek suluk di Dayah samalanga kebanyakan para salikin berusia muda karena kebanyakan mereka santri Dayah tersebut dan khalifahnya juga masih sangat muda. Sedangkan di Dayah Babussalam latar belakang jama`ah suluk lebih heterogen, baik segi sosial ekonomi maupun pendidikan. Menurut penuturan beberapa jama`ah mereka petani tambak udang dan berdagang.

F. Kebangkitan Suluk
Kebangkitan suluk seiring dengan kebangkitan tarekat, karena suluk memang bahagian penting dari tarekat itu sendiri. Di Indonesia karena pengaruh modernisme dan dekadensi penyebaran tarekat, warisan spiritual para sufi itu dipraktekkan secara terbatas baik secara individu maupun jamaah untuk beberapa dekade, praktek Islam mistik tersebut timbul tenggelam seperti gelombang air laut. Belakangan, fenomena kebangkitan suluk terjadi pada beberapa tempat di tanah air, demikian juga di Aceh. Seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Selatan dan lainnya. Sementara dengan masuknya beberapa jamaah ke dalam komunitas suluk yang mempunyai varian latar belakang sosial termasuk pengusaha, akademisi, santri maupun Teungku Dayah semakin memperjelas adanya kebangkitan suluk, fenomena terebut mungkin akan tetap menjadi bagian integral dari kehidupan keagamaan dan budaya Melayu hingga dewasa ini (Bakar, 2003:376). Fenomena tentang kelahiran rumah suluk di banyak tempat merupakan gejala baru yang berbeda dari era sebelumnya dan menandai kebangkitan suluk dan tokoh-tokohnya yang semakin luas di panggung kehidupan keagamaan di Aceh serta mulai memasuki sendi-sendi kehidupan sosial. Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir kajian tentang mistik Islam tidak hanya dikaji di pasantren tetapi juga diperbincangkan di perguruan tinggi, buku, radio dan televisi (Kahmad, 2002:76). Pandangan di atas jelas sekali menginformasikan bahwa kegiatan Islam mistik dengan berbagai prakteknya seperti tarekat maupun suluk sedang mengalami kebangkitan. Informasi ini mendorong penulis untuk mengetahui lebih jauh tentang suluk di pesisir Utara Aceh sebagai bekas wilayah Kerajaan Pasai yang merupakan basis Islamisasi di Nusantara dan pusat ilmu pengetahuan paling awal di Aceh (Nasr, 2003:344).
Aspek penting lainnya adalah perspektif masyarakat dalam menerima praktek suluk, baik yang menjadi partisipan maupun masyarakat sekitar lokasi. Paling tidak terbagi empat. Pertama, kelompok yang berpandangan bahwa praktek suluk merupakan amalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan khususnya di bulan Ramadhan, Suluk dipandang sebagai instrumen penting untuk meningkatkan kesadaran spiritual dalam mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa praktek suluk merupakan kegiatan orang tarekat, pandangan ini kebanyakan disampaikan oleh akademisi atau mereka yang telah memperoleh informasi baik dari buku atau orang lain. Ketiga, kelompok yang tidak memahami sama sekali tentang suluk, kelihatannya ini kelompok terbanyak sejauh wawancara yang dilakukan. Keempat, kelompok yang menentang praktek suluk. Kelompok terakhir ini pada umumnya tidak pernah mengikuti suluk dan mereka mengabaikan argumen-argumen yang di kemukakan oleh para pelaku suluk. Alasan yang di kemukakan oleh para penentang suluk bahwa suluk itu tidak sesuai dengan zaman sekarang dan dapat menyebabkan Islam mundur, kebanyakan mereka berasal dari Muhammadiyah dan kelompok-kelompok yang menamakan dirinya pembaharu. Di zaman lebih terbuka seperti sekarang ini setiap individu atau kelompok mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan pandangan-pandangan keagamaannya tentang Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah Islam itu sendiri.
Perspektif kelompok pertama terhadap komunitas suluk kelihatannya lebih mendominasi pada sebahagian masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya apresiasi dari masyarakat terhadap komunitas suluk. Apresiasi tersebut terlihat dengan menempatkan tengku-tengku yang pernah mengikuti praktek suluk pada jabatan-jabatan keagamaan yang terhormat di masyarakat seperti Imam mesjid, pemuka agama dalam acara fardhu kifayah. Dalam acara berdo`a jama`ah suluk sering diundang untuk mendapatkan keberkatan dari mereka. Data di atas mengisyaratkan bahwa sebenarnya masyarakat Aceh mempunyai cendrung kepada praktek Islam mistik.
Tentang cara suluk masuk ke lingkungan dayah, paling tidak ada tiga cara. Pertama, seorang yang akan mendirikan dayah telah menerima ijazah tarekat dan ijazah suluk dari seorang mursyid kemudian diterapkan kepada para santrinya setelah ia mendirikan dayah sendiri. Contoh untuk kasus ini ditemui pada dayah Darut Thaibah. Dimana Tengku Muhammad Thaib telah menerima ijazah tarekat dan ijazah suluk dari Syeikh Muhammad Waly di Aceh Selatan tempat ia menimba ilmu jauh hari sebelum mendirikan dayah Darut Thaibah, Lhoksukon. Kedua, pemimpin suatu dayah yang sedang eksis mengadopsi suluk dan di praktekkan di lingkungan dayah yang ia pimpin, baik untuk dirinya maupun kepada siapa saja yang berminat dari kalangan muridnya ataupun masyarakat luas. Kasus ini terjadi di dayah Babussalam, Alue Bili. Teungku Karimuddin selaku pimpinan dayah tersebut baru mengadopsi suluk setelah terlebih dahulu mendirikan dayahnya. Ketiga, para santri dayah atas inisiatif sendiri mengikuti praktek suluk di tempat lain dan jumlah mereka yang ikut suluk di tempat lain itu, semakin hari semakin banyak. Fenomena tersebut menjadi perhatian pimpinan dayah sehingga diambil inisiatif untuk membuka praktek suluk secara resmi di dayah tersebut agar para santri memperoleh kemudahan dengan bersuluk di dayah sendiri. Kasus ini terjadi di Dayah Mudi Mesra, Samalanga. Menigkatnya praktek suluk di lingkungan dayah jelas merupakan indikasi adanya kebangkitan suluk.


G. Tanda-Tanda Kebangkitan
Dari hasil temuan lapangan dan studi dokumentasi beberapa bulan tentang suluk yang dilakukan pada beberapa dayah di pesisir utara Aceh menunjukkan bahwa ada sejumlah perubahan penting yang sedang terjadi dalam pola praktek ibadah di kalangan masyarakat Islam di sana.
Pertama, dukungan ulama dayah menempati posisi penting dalam ekspansi suluk, tidak hanya di lingkungan dayah, tetapi juga terjun ke masyarakat untuk membantu mendirikan beberapa rumah suluk baru, seperti yang dilakukan Muhammad Thaeb hingga ke Aceh Timur. Usaha tersebut terbukti membuahkan hasil dengan lahirnya 27 tempat suluk baru. Tempat suluk juga terdapat di wilayah Aceh Utara, Bireuen, Sigli, Banda Aceh dan wilayah lainnya. Tempat suluk terbaru dibuka oleh Muhibuddin Wali di dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga. Banyaknya jumlah tempat suluk yang lahir sekaligus mengindikasikan adanya atensi dan penerimaan yang meningkat dari masyarakat terhadap praktel mistik tersebut. Pengangkatan sejumlah khalifah muda di beberapa tempat suluk yang baru seperti yang dilakukan Muhammad Thaeb, Muhibuddin Waly, Jamaluddin Waly dan Ibrahim Woyla akan semakin menambah energi dalam memperluas perkembangan suluk di Aceh khususnya pesisir utara.
Kedua, Semakin meningkat jumlah sarjana termasuk guru besar yang menjadi pemimpin ataupun partisipan dalam praktek suluk. Alasan keterlibatan mereka menurut salah seorang guru besar IAIN Ar-Raniry karena sistem praktek mistik tersebut disusun oleh para ulama yang ahli serta mendapat pengakuan luas dalam dunia Islam selama berabad-abad. Praktek mistik tersebut juga merupakan strategi dakwah yang mempunyai daya pikat tersendiri untuk menarik minat masyarakat dalam menghayati nilai-nilai Islam. Menurut beberapa partisipan, setelah melihat banyaknya orang terpelajar yang terlibat aktif dalam ritual tersebut turut mendorong minat mereka untuk menjalankan suluk.
Ketiga, semakin meningkatnya perhatian ilmuwan sosial-keagamaan terhadap praktek Islam mistik di sana, baik domestik maupun manca Negara. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya beberapa tulisan, baik dalam bentuk buku, tesis, disertasi maupun artikel yang menjelaskan tentang kehidupan mistik dari berbagai aspek. Pandangan sejumlah pakar tentang kebangkitan Islam mistik di dunia Islam
Keempat, suasana damai dan aman mulai terlihat di masyarakat setelah penanda tanganan MOU antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Faktor ini memberi rasa aman bagi masyarakat yang berminat untuk mengikuti praktek suluk yang datang dari berbagai daerah di Aceh. Sebenarnya keadaan damai dan aman ini tidak hanya dirasakan komunitas suluk namun dialami oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Aceh.
Kelima, Menarik untuk diperhatikan tentang peran yang dimainkan para pemimpin suluk di Aceh dewasa ini jika dibandingkan dengan pemimpin suluk era sebelumnya. Pemimpin suluk hari kelihatannya mempunyai kemampuan membangun komunikasi dan hubungan yang baik hampir dengan semua pihak, baik dengan pemerintah, masyarakat dan berbagai komponen masyarakat. Hal ini dimungkinkan oleh kapasitas para pemimpin mereka yang kaya pengalaman, tidak hanya berlatar belakang pendidikan agama yang kuat namun juga di dukung oleh pengalaman akademis yang mapan dan pengalaman politik yang cukup. Jika dicermati dengan seksama perubahan-perubahan sebagaimana tersebut di atas, maka fenomena tersebut merupakan indikasi yang kuat tentang adanya kebangkitan suluk di pesisir utara Aceh hari ini.

G. Alasan Kebangkitan
Jumlah umat Islam yang terlibat dalam berbagai bentuk kejahatan semakin meningkat dari hari ke hari demikian juga di Aceh. Kejahatan telah menjalar kedalam berbagai sendi-sendi kehidupan baik di desa hingga kota, dari masyarakat biasa hingga orang yang mempunyai kedudukan tinggi, dari kantor Lurah hingga Departemen Agama. Memang tidak mudah menemukan dari mana dan di mana kerusakan itu dimulai, karena jika dikatakan sistem hukumnya sudah benar namun moral manusianya yang rusak itu berarti sistem pendidikan kita telah gagal membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang maha esa. Jika demikian halnya itu berarti para pemimpin bangsa ini telah salah dalam merumuskan konsep pendidikan untuk anak bangsa ini. Itu berarti kesalahan masyarakat mengapa memilih pemimpin seperti mereka, maka masyarakat akan menjawab dari mana kami tahu mereka berprilaku seperti itu. Menurut Mubarok, fenomena tersebut merupakan wujud dari penyakit jiwa masyarakat modern yang kompleks, bersumber dari pandangan hidup yang keliru dan ketidakmampuannya beradaptasi dengan perkembangan jaman. Kesenjangan tersebut kemudian menimbulkan berbagai efek psikologi yang cenderung negatif (Mubarok, 2001:25).
Keadaan Aceh yang ditimpa berbagai musibah secara terus menerus seperti perang dengan Belanda, perang dengan Jepang, perang saudara DI/TII, perang saudara GAM dengan RI dan tsunami telah menimbulkan berbagai kerugian yang besar bagi umat Islam di pesisir utara Aceh. Kerugian tersebut telah menghamburkan sendi-sendi kehidupan sosial-kemasyarakatan, baik dalam bidang Agama, ekonomi, budaya, politik dan lainnya. Fenomena ini telah menggerakkan hati beberapa tokoh mistik untuk mengajak manusia memperbaiki diri dan bertaubat kepada Allah atas segala dosa-dosanya. Jalan tersebut tentu saja berdasarkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki oleh para guru spiritual tersebut. Jika disimpulkan paling tidak terdapat tiga alasan tentang mengapa suluk mulai bangkit di pesisir utara Aceh. Pertama, adat-istiadat di Aceh yang telah mengakar kuat di masyarakat yang masih menghargai keberadaan seorang ulama khususnya ulama masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan ulama Dayah, apalagi mereka yang dipercayai telah berhasil mencapai tingkat Auliya. Pandangan sebahagian masyarakat tersebut sebenarnya merupakan salah satu perintah dalam Islam di mana disebutkan ulama adalah pewaris para Nabi, hanya saja dalam prakteknya ada yang menyimpang disebabkan ketidakmengertian mereka tentang makna ziarah kubur, misalnya memohon sesuatu pada kuburan, namun prinsip dasarnya adalah menghargai ulama. Penghargaan terhadap mereka tidak pernah berakhir baik semasa hidup atau setelah wafatnya (Chodkiewicz, 2002:13). Terdapat berbagai bentuk penghargaan terhadap mereka seperti berziarah baik semasa hidup atau setelah wafatnya, berdoa di pusara, membayar nazar, melakukan kenduri dan mengamalkan peninggalan mereka. Suluk salah satu di antara sekian banyak peninggalan ulama Aceh yang dihargai tidak hanya oleh golongan masyarakat awam tetapi juga para ulama. Karena itu adat-istiadat yang masih menghargai ulama menjadi salah satu alasan penting. Bagi sebahagian orang, makam para wali merupakan gerbang mistik menuju kesadaran spiritual, kawasan damai bagi mereka yang gelisah di tengah kegaduhan dunia. Bahkan terkadang mereka jauh lebih dihormati setelah wafatnya ketimbang semasa hayatnya (Chambert, 2007:15). Kedua, ajaran Islam yang menekankan pentingnya memperbaiki hati dengan berzikir, banyak mengingat mati, mengelola hawa nafsu dan membersihkan diri dari berbagai dosa dengan bertaubat kepada Allah sebagaimana dijelaskan dalam banyak kitab tasawuf. Ketiga, masyarakat memerlukan dan mulai mencari benteng iman untuk mempertahankan diri dari berbagai serangan budaya atau pandangan hidup negatif baik yang terlihat maupun yang tidak terhadap aqidah mereka.
Pandangan seperti ini ditemui pada beberapa daerah yang diterpa berbagai kemelut atau konflik secara terus menerus seperti yang terjadi setelah kejatuhan Bagdad akibat serangan tentara Mongol praktek tarekat mulai bangkit untuk memberikan energi bagi umat Islam yang mengalami kegamangan jiwa dalam menjalani kehidupan, Di Afrika tarekat Sanusiyyah bangkit melawan penjajahan Perancis dan membangun pendidikan bagi umat, di Jawa pada era penjajahan, tarekat tampil memberikan kekuatan jiwa bagi masyarakat melawan penjajahan demikian juga di Aceh praktek mistik melalui suluk bangkit memberikan penyembuhan dan kekuatan jiwa bagi masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih baik setelah didera oleh konfiks dan berbagai musibah.

H. Penutup
Praktek suluk yang semakin meluas di Aceh, khususnya di pesisir utara merupakan fenomena yang berbeda dari era sebelumnya. Suluk tidak hanya dipraktekkan secara diam-diam oleh beberapa individu namun juga telah diadopsi oleh beberapa dayah terkemuka di Aceh sebagai instrumen untuk membangun kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Fenomena tersebut menjadi semakin penting untuk disimak karena terjadi di dayah MUDI, Samalanga, Kabupaten Bireuen yang merupakan satu dayah kemuka berbasis fiqh yang mempunyai pengaruh luas di masyarakat. Dayah dan ulama dalam konstruksi sosial-masyarakat Aceh masih menjadi rujukan praktek kehidupan beragama bagi sebahagian besar orang Aceh hingga hari ini. Peran keduanya sangat kental dalam mendorong kehidupan masyarakat dalam berbagai sendi-sendi kehidupan sosial, sebagaimana di perlihatkan oleh dayah Mudi Mesra, Samalanga, Bireuen.
Besar kemungkinan dengan berfungsinya dayah sebagai pusat latihan mistik dan instrumen pengembangan suluk akan turut mewarnai praktek Islam lokal di sana di masa mendatang sebagaimana yang telah mulai terlihat hari ini. Hipotesis tersebut tentu didukung oleh beberapa alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas dan temuan lapangan yang memperlihatkan ada ribuan santri yang telah mengenakan serban berwarna putih ketika salat berjamaah, di mana pemandangan ini tidak terlihat sebelum dayah mengadopsi suluk sebagai praktek mistik mereka. Dilihat dari jumlah rumah suluk yang semakin meningkat dari waktu ke waktu serta pengangkatan khalifah muda yang semakin banyak, maka beralasan untuk menyimpulkan bahwa hari ini di pesisir utara Aceh sedang berlangsung proses perkembangan suluk di sana.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar